BANDUNG:-Mau melihat seseorang sesungguhnya jujur atau berbohong? Siapa sesungguhnya yang jujur dan siapa yang bohong dalam kasus mantan Bendarhara Umum Partai Demokrat Nazaruddin dengan Komisi Pemberantasan Korupsi? Uji kebenaran itu sebenarnya bisa terungkap dengan forensik bahasa. Kajian baru tersebut tengah dikembangkan Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Seperti bedah forensik di dunia kedokteran, forensik bahasa membedah ucapan lisan seseorang yang ditranskrip atau ditulis. Analisis bahasa ini di sejumlah negara seperti Australia dan Eropa, sudah dipakai sebagai alat bukti di persidangan.
Cara bedah bahasa itu, menurut guru besar bidang pragmatik, sosiolinguistik, dan filsafat bahasa UPI Endang Aminudin Aziz, dengan dua cara, yaitu wawancara dan berita acara pemeriksaan (BAP) pihak yang berperkara. "Pakar bahasa juga bisa tahu apakah pembuat BAP itu jujur atau tidak," kata penggagas forensik bahasa di Indonesia itu dalam percakapannya kepada Tempo, akhir pekan lalu.
Pakar bahasa menganalisis struktur lahir bahasa dan batin bahasa. Struktur lahir bisa dianalisis dari konstruksi bahasa dan kalimat yang dipakai. Sedangkan struktur batin ditinjau dari makna kata yang diucapkan. "Dari penggabungan itu bisa dilihat apakah seseorang yang terkait perkara itu yakin atau tidak, atau ragu-ragu dengan ucapannya," ujarnya.
Konstruksi kalimat dan pilihan kata penutur, relatif akan konsisten dengan apa yang dipercayai seseorang. Termasuk penggunaan kalimat aktif, pasif, dan bahasa yang rumit dengan banyak kalimat majemuk. Walau cukup banyak variabel penilaiannya, kata Aminudin, analis bahasa bisa menemukan pola konsistensi bahasa yang dipakai penutur."Tingkat akurasi forensik bahasa ini di luar negeri mencapai 80 persen," kata mantan Kepala Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional 2010 itu.
Sisanya 20 persen, dianggap gagal untuk menganalisis orang-orang yang ternyata punya gangguan psikologis, dan piawai bermain bahasa. "Untuk mengelabui orang, setiap saat ucapannya bisa berubah sehingga ahli bahasa tidak akan bisa menemukan kebenaran ucapannya. Mungkin dia terbiasa berbohong sejak kecil," ujar Pembantu Rektor UPI bidang perencanaan, penelitian, dan pengembangan itu.
Pada kasus mantan Bendahara Partai Demokrat, misalnya, sejauh ini ia menduga Nazarudin bukan orang yang mulutnya pandai berkelit. Membandingkan isi pesan pendek, surat, dan wawancara langsung di media massa, kata Aminudin, punya konstruksi bahasa yang berbeda. "Tapi saya belum bisa menyimpulkan tingkat kebohongannya, karena perlu wawancara langsung," kata dia.
Ahli yang terlibat harus menguasai ilmu dasar bahasa seperti fonologi, morfologi, dan semantik. Ditambah kerangka kerja di dalam systemic functional grammar, teori pragmatik, dan teori wacana. "Ini perpaduan banyak ilmu bahasa," katanya. Walau begitu, forensik bahasa tidak berstandar internasional karena tiap bahasa di dunia punya keunikan. Di UPI, forensik bahasa sejak tahun lalu mulai dikembangkan lewat kajian untuk tesis dan beberapa penelitian dosen.
Forensik bahasa selama ini telah dipakai pihak kepolisian Indonesia sejak beberapa tahun terakhir, umumnya dalam kasus pencemaran nama baik. Ahli bahasa diminta sebagai saksi ahli, misalnya dalam kasus Majalah Tempo dengan Tomi Winata juga Prita Mulyasari. Namun itu, kata Aminudin, baru analisis di permukaan yang bisa digali lebih dalam lagi.
Ia berharap para penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman, menjadikan hasil forensik bahasa sebagai alat bukti yang kuat di persidangan. Pada kasus pembunuhan di Australia dengan terdakwa orang Aborigin, kata dia, ahli forensik bahasa bisa menyelamatkan terdakwa dari hukuman penjara. "Hakimnya salah persepsi. Dalam masyarakat Aborigin, ada struktur kalimat tertentu yang hanya punya jawaban ya saja, kata tidak nggak dikenal," ujar lulusan doktor linguistik dari Monash University Australia 2000 itu.
Kriminolog dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Yesmil Anwar mengatakan, hasil forensik bahasa akan sangat tergantung dari kebutuhan dan keyakinan hakim di persidangan. "Tentu bukti-bukti dlm persidangan harus dianggap penting, dalam mencari kebenaran material, bukan hanya kebenaran formal," katanya.
0 komentar:
Posting Komentar